Saturday, July 11, 2015

Menari di Ujung Buih : SKETSA DUKA ISABELLA

isabela
Tulisan ini tidak bermaksud membawa siapapun untuk bercengkerama tentang legenda Puteri Junjung Buih, sebuah ceritera rakyat yang telah menjadi simbol persatuan dan kesatuan para raja dan kerajaan yang berada di seantero Kalimantan. Mulai dari Banjarmasin di bagian selatan Kalimantan, hingga ke Brunei Darussalam di belahan utara. Konon di ujung cerita, sang puteri menolak pinangan dua bersaudara yang saling berebut untuk menyuntingnya, bahkan hingga rela berlumuran darah. Namun ia tak bergeming. Baginya, persatuan dan kesatuan, perdamaian dan kedamaian, keutuhan persaudaraan dan cinta kasih, adalah nilai terbesar dalam hidup yang tidak bisa dibayar dengan apa pun juga. Atas dasar hal itu pulalah, akhirnya sang puteri pergi ke utara, dipersunting oleh seorang raja yang terkenal berbudi pekerti luhur, bijaksana dan kaya raya, Sultan Bolkiah, sang Raja Brunei Darussalam. Sang Puteri pun kemudian lebih dikenali sebagai Puteri Laila (lela) Menchanai.
Adapun sketsa duka Isabella, tidak juga bermaksud melukiskan prahara dalam jalinan cinta dua anak manusia. Saya ingin bangkit dari melankolia kehidupan berbangsa. Saya ingin kembali menemukan rasa percaya diri dan optimisme serta kebanggaan berbangsa, bertanah air dan berbahasa Indonesia. Saya bangga dengan kebesaran Sriwijaya yang amat harum di seluruh bumi nusantara. Saya juga bangga dengan kegagahan Mahapatih Gajahmada yang berhasil menyatukan nusantara dengan semangat Sumpah Palapa yang didengungkannya, meskipun kemudian ternyata gagal menaklukan tanah Pasundan yang luasnya hanya sepertiga pulau Jawa. Tapi itu semua adalah pencapaian sejarah dan cikal bakal mengapa kita harus menjadi bangsa yang besar. Ingatlah, Indonesia itu besar, bung..!
Seperti pada beberapa minggu yang lalu, ketika usai menunaikan shalat Jumat, saya menerima 4 missed call, 2 voice mail, dan 7 sms. Salah satunya adalah dari sekretaris saya di kantor. Dia meminta saya segera kembali karena ada seseorang yang sudah cukup lama menunggu. Rencana untuk makan siang di luar pun akhirnya saya urungkan, dan segera meluncur ke tempat kerja. Dari kejauhan saya sudah melihat sesosok perempuan cantik sedang membaca majalah di sudut airspace atrium di depan ruang kerja saya. Tatap matanya menangkap kedatangan saya, dan senyumnya pun mengembang. Isteri saya pernah bilang bahwa dia adalah salah satu perempuan Malaysia yang kecantikannya menyamai kecantikan wanita Indonesia.
Tidak salah, profesinya yang sebagai artis, telah menuntutnya untuk selalu tampil prima. Selain itu, takdir beliau sebagai anak dari salah satu orang terkaya di Malaysia, telah menambahkan sedikit aura sang ayah di wajahnya, luwes, berpikiran matang dan sangat profesional. Kami sudah cukup lama saling mengenal dan mengerjakan beberapa proyek yang didanai oleh salah satu bank swasta terbesar di Malaysia, milik ayahnya.
Hari itu dia menyodorkan sehelai kertas berisi daftar nama, lengkap dengan group perusahaan yang dimilikinya. Satu per satu saya amati. Nama-nama itu sangat tidak asing bagi saya. Mereka adalah sahabat, sekaligus ada juga yang merupakan anak bekas Boss saya. Hehehe..! Akhirnya, generasi saya sudah mulai memberikan andil dalam dinamika bangsa ini. Tidak sadar, jika senyum saya justru membuat semakin penasaran makhluk manis yang sedang berada di hadapan saya. Tangannya meraih tangan saya, sembari menggoyangkannya. Ya, saya mengenali semua nama yang tercantum dalam daftar nama tersebut. Mereka semuanya orang Sulawesi Selatan..! Puas dengan segala jawaban dan rencana yang akan saya buat, akhirnya dia pun pamit dan berlalu pergi.
Beberapa hari lamanya kami hunting berbagai instrumen, ornamen dan pernak pernik yang kental kaitannya dengan nuansa Makassar. Bahkan artis di KBRI yang saya kontak pun telah siap dengan segala persembahannya. Ballroom luas salah satu hotel yang berada di bawah naungan management saya, telah di sulap menjadi sebuah sudut perkampungan khas Makassar. Sebuah becak, sepeda ontel tua, perahu kayu yang sudah lapuk, semaian bibit padi, dangau bambu, baju kurung, songket makassar, lukisan foto Sultan Hasannudin, sepasang gendang dan terompet, berhasil saya hadirkan sebagai alutsista untuk menaklukan tamu dari Makassar. Tidak ketinggalan, penganan dan jajanan khas Makassar pun sudah saya susun sedemikian rupa. Sembilan pohon nipah yang sejatinya ingin saya hadirkan untuk mekukiskan simbol Talla Salapang, yang pernah digunakan Hasannudin sebagai batas wilayah kekuasaan kerajaan Gowa dan Tallo, gagal saya dapatkan. Akhirnya saya menggantinya dengan tumpukan buah kelapa muda lengkap dengan daun dan nyiur-nyiurnya.
makassar-lounge-restaurant
Sabtu siang kemarin, aroma coto Makassar, pallu basa, gulai ikan kakap belimbing wuluh, ketupat dan burrasa, ikan baronang bakar, sambal mangga muda, sate makassar, goreng ayam kampung muda, urap dan lalapan, jalangkote, bikang doang, cucur bayau, pisang epe, dan lain-lain berhasil saya buat menjadi sebuah hidangan segar. Satu per satu saya layani coto Makassar sesuai pesanan mereka. Aroma perasan jeruk nipis yang segar, semakin menambah selera makan di siang kemarin.
Di tengah kesibukan, isteri dari salah seorang VIP itu datang menghampiri. Menyapa ramah dan bertanya kabar keluarga saya. Kami sudah saling mengenal sejak lama, bahkan di saat mereka belum nenikah. Hehehe..! Memori masa lalu pun terngiang dalam ingatan. Diapun menyampaikan ajakan dan undangan untuk datang ke tempat mereka pada Sabtu malamnya. Mereka dulu pernah berjanji akan membawa serta saya dalam penerbangan bersama jet pribadinya jika kelak dia sudah sukses memilikinya. Dan janji itu sudah dia tunaikan tadi malam.
Kami terbang dari KL ke Langkawi, makan malam dan kembali lagi ke KL. Tidak ada yang berubah, semangatnya selalu menggelora. Dia pernah marah dengan sikap perusahaan pertambangan dari US yang mangkir mendirikan smelter di Indonesia, akhirnya dia sendiri membuatnya. Begitu pun ketika meruak isu lemahnya ketahanan energi kita, dia pun melakukan aksi korporasi yang cukup berani, membangun refinery di ujung Timur pulau Jawa. Kedua bisnis itu bukan didedikasikan sebagai profit getter, tapi lebih kepada bagaimana korporasi menunjukan kepedulian dan kecintaannya pada bangsa dan negara. “Ini hanya soal nasionalisme..!” Kilahnya.
Ketika saya tawarkan Merpati untuk diakuisi, dia hanya menggeleng dan tersenyum. Merpati adalah murni soal kreativitas bisnis. Nasib bangsa Indonesia tidak digantungkan disayapnya. Perhitungannya jelas akan beda. Jangan paksakan sesuatu, jika kita sendiri gak yakin akan mampu meraih keuntungan. Sebuah pernyataan sederhana, dan saya sependapat serta satu pemikiran dengannya. Karena itu tidak heran mengapa mereka jauh-jauh datang kemari. Ada tawaran awal yang cukup menarik jika kelak pemerintah dan kerajaan Malaysia benar-benar mempailitkan perusahaan penerbangan terbesar miliknya.
mas-klia-2
Malaysia Airlines System telah beberapa tahun mengalami kerugian besar, padahal tingkat occupancy dalam setiap penerbangan mereka cukup bagus. Bahkan di kuartal pertama tahun ini, angka kerugiannya sudah hampir menyentuh angka 500 juta ringgit, atau hampir Rp2Triliun. Pasca terjadinya musibah MH370, perusahaan ini sedang mengalami kehilangan kepercayaan yang amat drastis.
Pendapatan perusahaan merosot tajam, harga saham di bursa terjun bebas. Praktis, saat ini MAS hanya hidup dari hasil subsidi kerajaan. Pertanyaannya, mau sampai kapan uang rakyat dihambur-hamburkan. Dengan menyandang status sebagai perusahaan persero, seyogianya MAS menolak suntikan dana subsidi pemerintah, semata-mata untuk menjaga asfek fairness. Tapi apa daya, tanpa itu, mau dikemanakan wajah Malaysia jika tiba-tiba perusahaan ini kolaps, sementara masalah yang sedang membelenggunya tak kunjung selesai. Siapa yang berani menjadi kambing hitam atas tragedi itu? Perdana menteri atau Menteri Transportasi? Hehehe..! Jika sahabat saya yang harus menanggung malu, maka saya berani berkata bahwa konspirasi tingkat tinggi sudah dipersiapkan sejak lama. Misteri besar atas pengosongan beberapa pos menteri, adalah jebakan untuk menjagal sang The Rising Star..! Wallahualam..!
Saya teringat pada obrolan kecil bersama mantan PM dan mantan mendag Malaysia saat berkunjung ke rumah, menjelang kunjungan Obama ke Malaysia. Saya sempat menyampaikan andaian dan analisa pada beliau. Seandainya saya orang Malaysia, saya akan segera menjual MAS, sebelum saham perusahaan itu berubah menjadi kertas tak berharga, dan brankas pemerintas habis terkuras untuk memodali usaha yang jelas-jelas sedang rugi.
Kali ini, kehadiran sahabat-sahabat saya dari Makassar, seolah menjawab keresahan yang selama ini saya pendam. Saya setuju mereka mengambialih perusahaan itu, tapi dengan beberapa syarat. Sahabat saya mengangguk tanda setuju. Kelak akan selalu ada tangan Indonesia di setiap perusahaan Malaysia. Dan yang lebih gagah, dia bilang akan segera memulangkan modal tetangga, dan mengambil kembali keuntungan yang telah diraihnya. Kali ini, bangsa kita akan benar-benar menjadi Boss bagi Asia Tenggara..! Bagaimana bung, Anda masih meragukannya? Hehehe..! Salam..! (by: yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 18 May 2014).

No comments:

Post a Comment