Saturday, July 11, 2015

Pesan UntukMU

house-mailbox-vintage-Favim.com-210423
sumber: Favim
Aku setuju dengan orang yang beranggapan bahwa jatuh cinta sendirian itu egois. Namun aku memiliki alasan yang sangat logis mengapa aku tidak pernah mengutarakannya padamu, atau hanya sekedar memberi sinyal-sinyal kecil yang menunjukkan bahwa aku ingin menciptakan senyum pada bibirmu yang mungil.
Keterbatasan daya tahan tubuh membuatku pasrah merupa robot bernyawa yang menikmati tiap detik di rumah sepanjang hari. Rutinitasku hanya bangun pagi, sarapan, membaca buku-buku John Green, Ernest Hemingway, Franz Kafka, atau Haruki Murakami, yang entah sudah berapa puluh kali kuulang, menonton televisi, dan tidur, atau sesekali Ibu mengajakku menyapa sepoi angin sore di taman komplek sambil memperhatikan betapa bahagianya hidup ini jika aku seperti manusia normal pada umumnya.
Aku tidak ingat kapan tepatnya aku benar-benar peduli kepada dunia, maksudku, mengenalmu, ketika kita berdua saling bertatapan. Sore itu, kau datang ke rumahku membawa kantung kertas berwarna cokelat berisi roti, susu, dan beberapa camilan sehat untuk mengganjal rasa laparku. Kau menekan bel rumah sebanyak tiga kali, tiga kali pula aku terbatuk ketika melangkah dari tempat tidur menuju pintu.
Kemudian, sepasang mata cokelat milikmu bertemu dengan kedua sorot mata gelapku ketika pintu terbuka. Saat itulah waktu terasa mendadak berhenti karena jantungku memompa darah ke sekujur tubuh lebih cepat dari biasanya.
“Brian, ya? Ini aku Mentari, tetangga di depan rumah,” sapamu dengan nada ramah dan senyum lebar sambil menunjuk sebuah rumah minimalis di depan rumahku.
Aku mengangguk sambil sekeras mungkin menahan getar hebat yang tiba-tiba muncul di dalam tubuhku ketika kulihat jelas wajahmu.
“Tadi aku ketemu Tante Reni di supermarket depan portal komplek, terus dia minta tolong titip belanjaan sama aku soalnya mobilnya udah nggak muat. Tante Reni lagi perjalanan ke sini ,” lanjutmu sambil menyerahkan kantung kertas itu padaku. Aku perlahan meraih pemberianmu dengan kepala menunduk dan tersenyum malu, lalu menutup pintu.
“Jangan lupa diminum obatnya, ya!” Suaramu kembali terdengar dari balik pintu. Kalimat itu terngiang di telingaku dan  bodohnya aku menyadari satu hal ketika meletakkan kantung belanjaan itu ke permukaan meja makan: aku lupa mengucapkan terima kasih.
Sejak saat itu, barulah aku merasa seperti manusia normal yang sedang jatuh cinta. Dunia begitu penuh warna. Aku seperti detektif yang memperhatikan tiap gerak-gerikmu untuk mengumpulkan detil informasi tentangmu sebanyak yang bisa kulakukan. Hanya itulah kegiatan yang membuatku bergairah menjalani hidup.
Ngomong-ngomong, aku hapal rutinitasmu lewat jendela kecil kamarku yang menghadap ke arah jalan yang membuat rumah kita berseberangan. Sesuai namamu, kau selalu bangun tidak lebih dari pukul setengah tujuh pagi pada week day, seperti matahari yang melaksanakan kewajibannya. Dengan mengenakan baju tidur yang sedikit kebesaran, kau membuka pintu rumahmu, lalu mengambil koran langganan di kotak pos di halaman kecil rumahmu sambil sesekali merenggangkan tubuh dan menghirup udara segar.
Kau berangkat kerja sebelum pukul delapan dan tiba kembali di rumah antara pukul enam atau tujuh malam, kadang bisa lebih larut. Kau ramah kepada tetangga yang lewat di depan rumahmu meskipun mereka terlihat menanggapi sapaanmu dengan gestur yang dibuat-buat.
Pada akhir pekan, kau selalu bangun lebih siang dan menikmati waktu dengan duduk di kursi malas untuk membaca majalah sambil menikmati kudapan di teras rumahmu. Kadang kau menghabiskan malamnya bersama seorang perempuan berambut pendek yang mirip denganmu yang wajahnya lebih muda. Atau kadang kau menunggu kedatangan seorang pria jangkung berjanggut tipis yang menjemputmu dengan mobil sporty. Ketika hal itu terjadi, aku sering tidak bisa tidur karena memikirkanmu sebelum pria itu memulangkanmu.
Aku bersyukur kau tidak pernah menangkap basah mataku yang mengintip di sela-sela gorden jendela. Terkadang, ketika aku sedang fokus memperhatikanmu, tiba-tiba Ibu mengetuk pintu. Sontak aku menjerit di dalam hati, menyiapkan wajah polos sebelum membukanya seolah kegiatan yang kulakukan adalah fiksi.
Darimu aku pun belajar bahwa jatuh cinta tak selalu indah. Hal itu kualami ketika melihat pria jangkung itu dengan penuh penghayatan mencium bibirmu di dalam mobil sebelum kau pamit untuk tenggelam di alam mimpi. Kadang pula kau yang menciumnya terlebih dahulu. Aku melihat siluet khidmatnya perbuatan kalian.
Suatu malam, aku merekam peristiwa yang kusebut sebagai instrumen getir. Kau membuka kaca jendela mobil pria itu, lalu melepas seat belt-nya dengan cepat. Kau keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa menuju pintu rumah disusul jejak kaki pria itu. Di depan rumah kalian berdua mengucapkan kalimat yang entah itu apa –aku tak dapat mendengarnya, tapi dari wajahmu yang menyiratkan kemarahan dan kekecewaan sudah cukup membuatku paham.
Tidak lama berselang, pria itu menamparmu dengan wajah geram tanpa memedulikan malam sudah meninggi, kemudian meninggalkanmu yang jatuh duduk di lantai dengan wajah basah. Kau menutup setengah wajahmu sambil terisak sebelum hilang ditelan pintu.
Saat itulah aku mengenal patah hati tanpa bisa berbuat apa-apa selain meladeni nyeri di sekujur tubuh yang memerintahkan kelenjar air mataku melimpah ruah. Aku ingin sekali mempraktikan sebuah hal yang sering kutemukan pada buku-buku romansa yang kubaca. Hal itu berkhasiat menenangkan dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Caranya mudah, hanya perlu menenggelamkanmu ke dalam dadaku sambil mengusap pelan rambutmu.
Namun aku tau itu mustahil. Siapa aku berhak melakukannya?
Dan aku tidak pernah berandai-andai aku dan kau menjadi Augustus Waters dan Hazel Grace Lancaster seperti di dalam novel The Fault in Our Stars. Kau adalah manusia normal, sedangkan aku hanya seonggok raga sekarat yang duduk bersimpuh menanti ajal.
Mencintaimu lewat jendela ini sudah lebih dari kemewahan. Melihat senyummu yang seindah pagi muda sudah seperti surga bagiku. Hidup ini terlalu singkat untuk merisaukan apa yang nantinya dilakukan semesta kepada kita. Takdir adalah ketetapan yang tak bisa diubah dan dipesan. Akan tetapi aku percaya tak ada takdir yang buruk, seperti yang Tuhan berikan padaku.
Tuhan menyayangiku dengan cara memberikan usia yang divonis dokter tidak lebih dari setengah tahun, tapi Dia menghadirkan muara bahagia lewat dirimu. Dengan kata lain, aku tidak perlu bersusah payah menjalani proses mencari sumber bahagiaku layaknya manusia normal, yang harus berpindah dari satu hati ke hati lainnya demi menemukan seseorang yang mereka tetapkan sebagai jodoh.
Bagiku, kau adalah kebahagiaan sederhana yang hakiki tanpa perlu mengikat janji setia di hadapan banyak orang.
***
Malam ini lantai kamar mandiku didominasi bercak merah, yang menyebabkan Ibu berteriak panik dan memanggil ambulance. Aku kehilangan kendali atas tubuhku sendiri ketika nyeri mahadahsyat menyerang paru-paruku dan menimbulkan batuk bertubi-tubi.
Aku sudah menanti hari ini tiba dengan penuh persiapan tanpa melibatkan harapan. Sore tadi, kalau tidak salah pukul empat sore, aku menaruh secarik kertas ke dalam kotak suratmu. Semoga kau dapat membaca tulisannya di antara bercak noda merah yang jatuh dari mulutku karena aku tidak pernah menulis lagi sejak kuketahui penyebab napasku berhenti.
Aku bisa merasakan dengan jelas bahwa hari ini adalah terakhir kalinya dunia penuh warna. Jika saja aku memiliki sisa kekuatan untuk menggetarkan pita suaraku, aku ingin sekali berkesempatan menitipkan salam padamu lewat ibu, dokter, atau suster yang kini setengah panik mendorong ranjangku di lorong rumah sakit.
Sebelum semua menjadi hitam ketika kain putih menandakan ujung jiwaku pergi dan aku diantar menuju keabadian, aku ingin melihat senyummu ketika kau membaca pesanku, Mentari.
‘Terima kasih, berkatmu aku menikmati betapa bahagianya sebuah pertemuan dan perpisahan tanpa perlu melambaikan tangan.’

No comments:

Post a Comment