Wednesday, July 15, 2015

TURKI Sebagai ASET atau KESET ??

turki-armw
Turki Army

Mengobrol dengan teman lama, yang baru sempat berinteraksi lagi setelah sekian lama vakum, memang mengasyikkan.
Terlebih kita sama-sama bekerja di industri yang sama, yaitu industri migas. Sekalipun hanya teman online dan bukan bertatap muka secara langsung namun kualitasnya tidak kalah dengan pertemuan biasa.
Bukannya tidak ada keinginan untuk bisa saling menjabat, namun jarak dan waktu belum memungkinkan hingga hari ini.
Turki
Nenat, seorang ahli konstruksi pipa berkebangsaan Turki, dalam obrolan santai tapi penuh bobot malam itu, bercerita banyak hal yang hampir semuanya terkait dengan industri migas dan kaitan geopolitiknya di wilayah sekitar negaranya.
Diskusi kami berdua itu saya rangkum dalam dua tulisan, yaitu tulisan pertama tentang Yunani dan tulisan kedua ini tentang Turki.
Turki, negeri dengan dua pijakan
arman1
TURKI GERBANG EROPA
“Kalian Turki, kalian ini NATO tapi masih saja bekerjasama dengan musuh besar NATO itu” ujar teman kerja Nenat yang berasal dari Amerika.
Yang dimaksudkannya adalah jalur selatan pipa gas dari Russia yang akan melewati wilayah Turki. Sebelumnya jalur itu ditolak untuk melewati Bulgaria akibat tekanan dari Brussel, ibukota Uni Eropa.
Kekesalan si Amerika itu kurang lebih mungkin mewakili kekesalan pemerintahnya. Di tengah upaya keras Amerika untuk mengisolasi Russia, masih saja ada jalan bagi Russia untuk tetap menjalankan rencana-rencananya. Yang lebih mengesalkan lagi, rencana tersebut bahkan secara blak-blakan dibantu oleh dua “sekutu” Amerika di NATO yaitu Yunani dan Turki.
Ingin rasanya Nenat membalas argumen teman Amerikanya itu namun si Amerika telah meninggalkan ruangan. Disamping itu dia tidak ingin mengubah mood kerjanya pagi itu dengan hal yang dianggapnya tidak perlu. Dia cukup puas melihat kedongkolan teman Amerika yang pastinya lebih kuat lagi dirasakan oleh para pengambil keputusan di Washington.
Memanfaatkan posisinya yang persis mengurung laut Hitam, selama ini Turki seolah bertindak sebagai penjaga gerbang Eropa dari penyusupan Russia menuju Eropa lewat laut Mediteran.
Strategisnya posisi Turki memang sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Karena fakta itulah Amerika pun menempatkan pasukannya di Incirlik,
Turki Tenggara sebagai bagian dari pertahanan strategis NATO menghadapi Russia. Dalam sejarah perang dingin, AS juga menggunakan Turki sebagai basis terdepan penempatan balistiknya yang mengarah tepat ke jantung Uni Soviet.
Namun sampai berakhirnya perang dingin dan bubarnya Uni Sovyet, Turki tidak lebih sebagai asset atau bahkan keset kaki Amerika. Turki telah melayani Amerika dan NATO dalam banyak hal namun berbagai agenda Turki di dunia internasional tetap mandeg. Tidak banyak kemajuan berarti terkait keinginan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa, pengakuan terhadap Siprus-Turki, pembangunan reaktor nuklir dan dukungan dalam menumpas gerilyawan Kurdi.
Bahkan keinginan yang paling minimal sekalipun untuk bisa memiliki ekonomi yang tumbuh dan berkembang pun sulit terwujud.
Rakyat Turki mengira dengan memilih seorang doktor lulusan Amerika sebagai PM akan membuat Amerika akan mengistimewakan Turki. Tidak juga. Tanshu Chiller gagal menolong Turki dari krisis ekonomi.
Titik balik datang ketika berbagai faktor terjadi bersamaan. Invasi Amerika untuk menjatuhkan Saddam dan kebangkitan Russia kembali menempatkan Turki di sekitar pusaran konflik. Namun kali ini Turki, yang sudah dijalankan oleh pemerintahan yang lebih realistis, tidak lagi mengambil pendekatan yang sama.
“Kami mengambil pendekatan dua pijakan, persis seperti posisi negara kami yang sebagian di Asia dan sebagian di Eropa. Sebagian di Barat dan sebagian di Timur.
Kami mengikuti pendekatan yang kalian (Indonesia) lakukan. Jika kalian menyebutnya dengan non-blok maka kami menyebutnya perubahan orientasi strategis” kata Nenat. Turki mendekat kembali ke Timur-Tengah dan terus meningkatkan kontak dengan Russia. Terbukti, pendekatan ini membuat Turki menjadi lebih disegani.
Meski beberapa kali gusar dengan pendekatan Russia di Bosnia, Kosovo, Chechnya dan Syria, namun Turki bersikap realistis demi kepentingan nasionalnya. Apalagi Russia juga bersedia membantu pengembangan penguasaan reaktor nuklir untuk Turki, sesuatu yang selama ini tidak pernah diberikan oleh Amerika.
Terakhir, Turki bersedia mengijinkan wilayahnya di lewati jalur pipa gas Russia yang sebelumnya ditolak oleh Bulgaria, seorang anggota Uni Eropa.
Turki pun berhak mendapatkan diskon harga gas yang akan sangat membantu perkembangan ekonominya. Fasilitas tersebut selama ini dinikmati Ukrainia namun kemudian dicabut oleh Russia setelah pemerintah pusat Kiev lebih condong kepada Uni Eropa dan Amerika.
“Untunglah kita bukan anggota Uni-Eropa sehingga kita bisa memanfaatkan situasi ini”, lanjut Nenat. dan untungnya Russia bisa bangkit dari keterpurukan setelah bubarnya Uni-Sovyet”,
saya menimpali. “Ya betul…
Bagaimanapun kita harus hormat pada negara itu, sendirian menghadapi Uni Eropa dan Amerika”, ujar Nenat lagi.
Yakin gitu Russia sendirian? Ingin rasanya saya memancing begitu tapi, sudahlah, rasanya informasi darinya sudah cukup untuk saya jadikan artikel.
Bagi Nenat adalah pipa gas Rusia menghasilkan pekerjaan buat Nenat dan rekan rekan selama bertahun tahun  ke depannya……Ini proyek besar dan dia sangat senang menyambutnya. Satu hal lagi, gara-gara urusan pipa gas jalur selatan ini, Eropa sepertinya akan kembali ke konstelasi sewaktu PD 2.Rencananya pipa ini akan berakhir di Italia . Dan jika keadaan memungkinkan, Russia berharap bisa meneruskan sampai Jerman. Trio “Russia-Italia-Jerman” mengingatkan pada apa??
By : Patsus Namraenu
Gambar by :Googel

No comments:

Post a Comment